Sunday, April 11, 2010

SULTAN MELAYU & UNDANG-UNDANG

UNDANG-UNDANG tidak tertulis merupakan sumber utama bagi penguasa-penguasa negeri seperti sultan, pembesar, orang yang mendapat gelaran dari sultan dan orang kenamaan. Konsep yang berkaitan dengan sultan merupakan perkara penting bagi menaikkan status seorang sultan. Perkataan-perkataan dalam penggunaan bahasa yang menjadi landasan kepada pelaksanaan undang-undang adalah seperti titah, daulat, patik, murka, kurnia, anugerah, mangkat, nobat, beta dan sebagainya. Kata-kata seperti ini menunjukkan status sultan itu terletak lebih ke atas dan tinggi daripada rakyat biasa, sebab itu perkataan-perkataan ini tidak boleh dan dilarang untuk digunakan rakyat.

Seorang sultan tidak boleh melakukan sesuatu sewenang-wenang kepada rakyatnya. Pada adat Melayu, seorang rakyat pantang diberi malu dan dinista dan rakyat pula tidak boleh durhaka pada sultannya. Dari sumpah setia yang termaktub antara Demang Lebar Daun dan Sang Sapurba dalam Sejarah Melayu seolah-olah merupakan undang-undang yang pertama dijelmakan yaitu undang-undang tentang hubungan di antara seorang yang memerintah dengan rakyat yang diperintahnya. Barang siapa pihak yang melanggar semacam undang-undang hubungan sultan dengan rakyat dan sipelanggarnya akan menerima balasan yang setimpal.

Adapun isi sumpah setia tersebut adalah:
Adapun tuanku segala anak cucu patik sedia kan jadi hamba ke bawah Duli Yang Dipertuan; hendaklah ia diperbaiki oleh anak cucu tuanku. Dan jika ia berdosa sebesar-besar dosanya pun jangan difadhiahatkan, dinista dengan kata-kata yang jahat; jikalau besar dosanya dibunuh itupun jikalau berlaku pada hukum Shara.

Konsep daulat dan durhaka sangat kuat mempengaruhi masyarakat Melayu tradisional. Kedaulatan seorang sultan Melayu itu bukanlah semata-mata suatu konsep undang-undang tetapi mencakupi konsep budaya dan agama sekaligus. Jadi undang-undang itu terletak pada diri dan kepribadian sultan sendiri.

Daulat pula memberikan kepadanya banyak hak dan keistimewaan, meletakkannya ke taraf yang tertinggi dalam masyarakat tanpa boleh dicela atau kritik. Daulat itu juga menuntut taat setia yang tidak boleh dipersoalkan lagi dari rakyatnya yang terletak di bawah pemerintahan sultan.

Durhaka ialah konsep yang berkaitan dengan daulat. Secara mudah durhaka diartikan sebagai enggan menurut perintah walaupun durhaka mempunyai pengertian yang lebih luas. Sekiranya seseorang itu enggan menurut perintah, dia boleh dianggap durhaka atau sekiranya bapak seorang itu telah dihukum bunuh oleh sultan atas sebab-sebab yang tidak adil dan seseorang itu masih lagi dianggap durhaka sekiranya dia coba menyelamatkan bapaknya itu dari hukuman.

Peristiwa seperti ini digambarkan pada bagian ceritera ke-21 Sejarah Melayu. Seorang Menteri Sultan Mahmud yang bernama Tun Perpatih Hitam telah dicerca oleh Bendahara di hadapanLaksamana dan Temenggung. Oleh karena biadabnya perbuatan Tun Perpatih Hitam yang menguiskan tikar alas duduk Bendahara dengan kakinya, ia telah dibunuh oleh Laksamana dengan pedangnya, Lakiwa sebab telah diadatkan di Malaka tugas Laksamana ialah menghukum orang yang coba berlaku biadab terhadap Bendahara.

Memandangkan peristiwa tragis ini anak Tun Perpatih Hitam coba menuntut bela dengan menghunuskan kerisnya tetapi tuntutan yang sah dari segi kemanusiaan seperti ini dianggap salah di sisi undang-undang adat Malaka karena perbuatan menuntut darah terhadap sultan ataupun pegawai-pegawainya dianggap durhaka.

Seseorang yang melakukan kesalahan terhadap golongan atas akan dijatuhkan hukuman yang lebih berat jika dibandingkan dengan kesalahan yang sama kepada masyarakat lain yang sederajat. Misalnya, seseorang yang memaki pembesar akan dikenakan hukuman yang lebih daripada memaki orang biasa. Menteri Sultan Pahang, Tun Perpatih Hitam yang mencerca Bendahara Malaka telah dibunuh oleh Laksamana Malaka. Pada masa itu Pahang terletak di bawah takluk Malaka. Berkaitan dengan perkara ini terdapat kata-kata yang boleh dianggap sebagai undang-undang Sejarah Melayu menyebut:

Jika ada orang biadab pada bendahara, laksamana membunuh dia; jika yang patut ditangkap dan dipasung, Temenggung menangkap dia, demikianlah adat zaman dahulu kala.

Didapati pula Sultan Mansyur Syah murka kepada Bendahara karena enggan merajakan Sultan Zainul Abidin di Pasai. Selama tiga hari Sultan tidak menegur Bendahara. Begitu ringan sekali hukuman kepada orang yang statusnya agak tinggi. Dapat diperkirakan bagaimana sekiranya keengganan itu dilakukan oleh Sultan, Bendahara dan Laksamana berkuasa tidak membenarkan Raja Tua (nenda Sultan Mahmud) menziarahi Sultan Mahmud yang sedang gering. Sejarah Melayu menyebutkan;

Telah Raja Tua datang, maka tiada diberi hampir oleh Bendahara Paduka Raja katanya: Jangan tuanku hamper pada cunda. Sebagaimana telah menjadi tradisi yang telah menjadi hak istimewa golongan kerabat, Raja Tua coba menggunakan alasan hendak mendurhaka. Lalu katanya: Maka kata Raja Tua, Syabaslah, anak Melayu hendak durhaka, tetapi bagi Bendahara hak mutlak undang-undang tentang durhaka ini cuma ada pada tangan sultan, bukan pada tangan sebarang kerabat diraja; Melayu bernama durhaka, jika tuanku hendak bergagah juga mendekati paduka cunda saja patik amuk (Shellabear, 1985).

Keyakinan untuk mengatakan bahwa bentuk-bentuk kesalahan dan hukuman yang terdapat dalam Sejarah Melayu ini sebagai undang-undang karena di Malaka sendiri terdapat undang-undangnya yang pada akhir-akhir pemerintahan sultan Malaka, dituliskan. Sumber undang-undang ini adalah Hukum Kanun Malaka atau Undang-undang Malaka dan dapat diperkuatkan juga dengan adanya buku Undang-undang Laut Malaka. Besar kemungkinan bahwa teks sastra lama yang bercorak undang-undang ini terutama Hukum Kanun Malaka muncul berikut dari sasaran-sasaran yang terdapat dalam bagian-bagian awal Sejarah Melayu. Cuma bedanya terletak pada siapakah yang mengasaskan dalam konteks peraturan dan adat istiadat ini. Sejarah Melayu sendiri menyebut Sultan Muhammad Syah, Sultan Malaka yang pertama memeluk Islam sebagai peletak dasarnya, bila pengarang Sejarah Melayu mengatakan, maka Sultan Muhammad Syah pun mengatur Kesultanan Baginda.

Pada tahun 1883 diungkapkan suatu ketentuan tentang jabatan Riau Lingga disebut: Undang-undang Jabatan Riau-Lingga. Undang-undang ini antara lain menentukan jabatan pegawai yang dikuasakan melakukan keadilan. Undang-undang lima pasal dari Riau, undang-undang ini mungkin dikeluarkan pada masa Sultan Machmud Muzafarsyah (1841-1857). Undang-undang ini memuat antara lain:

a. Asal Raja yang Mukhtasar
- Raja-raja yang memerintah
- Jabatan Yang Dipertuan Muda Riau
- Jabatan-jabatan Bendahara Riau
- Jabatan-jabatan Temenggung Riau
b. Adat Istiadat Sultan-sultan Melayu
- Sumpah setia
- Peraturan kenaikan pangkat dikalangan pembesar
- Pelantikan berdasarkan keturunan
- Pemberian gelaran dan lantikan.
c. Pembagian Kuasa dan Hak memerintah
d. Perbincangan mengenai bahasa diraja dan nobat
e. Wakil mutlak (Hadi, 1986).

Jelaslah sebagaimana yang digambarkan dalam Sejarah Melayu, semakin rendah kedudukan social seseorang itu, semakin berat hukuman yang mungkin diterimanya apabila ia membuat kesalahan dan melanggar undang-undang. Hukuman itu digunakan untuk menghukum orang biasa atau golongan bawahan. Semua itu adalah untuk kepentingan golongan bangsawan atau golongan pemerintah. Pendek kata, undang-undang itu disesuaikan daripada kacamata dan kehendak golongan pemerintah untuk menjaga status quo social ataupun politik. Ini menyebabkan semakin tinggi kedudukan social seseorang itu, semakin besar kemungkinan ia terlepas dari hukuman sekiranya ia melanggar undang-undang karena ia berdamping rapat dengan sultan dan sultan itu sendirilah sebenarnya undang-undang (Hashim dan Kaeh, 1994).

Ketaatan kepada sultan sebagai pemimpin orang Melayu sangat dipegang teguh oleh masyarakat. Dalam kesusasteraan Melayu lama banyak cerita-cerita yang mengisahkan bagaimana rakyat dalam sebuah negeri sanggup berperang mati-matian di samping sultan mereka selagi sultan mereka itu belum tewas atau terkorban di medan peperangan. Karena ketaatan orang Melayu kepada sultan amat dititikberatkan maka lahirlah peribahasa “Pantang Melayu Mendurhaka Kepada Sultan”. Mematuhi adat dan mematuhi sultan pada dasarnya atau dalam bentuk yang ideal adalah nilai positif. Tetapi dalam praktikal sudah menjadi rugi dan konservatif.

Sumber : www.sagangonline.com
 
Original Template By : uniQue  |    Modified and Maintained By : Shali+Zai